Minggu, 22 Maret 2015

Renungan Tentang Waktu

بسم الله الرحمن الرحيم




Waktu adalah salah satu nikmat yang agung dari Allâh Subhanahu wa Ta'ala kepada manusia. Sudah sepantasnya manusia memanfaatkannya secara baik, efektif dan semaksimal mungkin untuk amal shalih.  

Allâh Ta'ala telah bersumpah dengan menyebut masa dalam firman-Nya:
 
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran." (QS. al-'Ashr/103:1-3)
 
Di dalam surat yang mulia ini Allâh Subhanahu wa Ta'ala bersumpah dengan masa, dan ini menunjukkan pentingnya masa. Sesungguhnya di dalam masa terdapat keajaiban-keajaiban. Di dalam masa terjadi kesenangan dan kesusahan, sehat dan sakit, kekayaan dan kemiskinan. Jika seseorang menyian-nyiakan umurnya, seratus tahun berbuat sia-sia, bahkan kemaksiatan belaka, kemudian ia bertaubat di akhir hayatnya, dengan taubat yang diterima, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan sempurna sebagai balasannya, berada di dalam surga selama-lamanya. Dia betul-betul mengetahui bahwa waktu hidupnya yang paling berharga adalah sedikit masa taubatnya itu. Sesungguhnya masa merupakan anugerah Allâh Ta'ala, tidak ada cela padanya, manusialah yang tercela ketika tidak memanfaatkannya.


PERINGATAN NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM


Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan pentingnya memanfaatkan waktu, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

 

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang." (HR. Bukhari, no. 5933)

Hadits yang mulia ini memberitakan bahwa waktu luang adalah nikmat yang besar dari Allâh Ta'ala, tetapi banyak manusia tertipu dan mendapatkan kerugian terhadap nikmat ini.

Di antara bentuk kerugian ini adalah:

1. Seseorang tidak mengisi waktu luangnya dengan bentuk yang paling sempurna. Seperti menyibukkan waktu luangnya dengan amalan yang kurang utama, padahal ia bisa mengisinya dengan amalan yang lebih utama.


2. Dia tidak mengisi waktu luangnya dengan amalan-amalan yang utama, yang memiliki manfaat bagi agama atau dunianya. Namun kesibukkannya adalah dengan perkara-perkara mubah yang tidak berpahala.


3. Dia mengisinya dengan perkara yang haram, ini adalah orang yang paling tertipu dan rugi. Karena ia menyia-nyiakan kesempatan memanfaatkan waktu dengan perkara yang bermanfaat. Tidak hanya itu, bahkan ia menyibukkan waktunya dengan perkara yang akan menggiringnya kepada hukuman Allâh di dunia dan di akhirat.


Urgensi waktu dan kewajiban menjaganya merupakan perkara yang disepakati oleh orang-orang yang berakal. Berikut adalah diantara poin-poin yang menunjukkan urgensi waktu.


1. Waktu Adalah Modal Manusia.
Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:


اِبْنَ آدَمَ إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ

 

"Wahai Ibnu Adam (manusia), kamu itu hanyalah (kumpulan) hari-hari, tiap-tiap satu hari berlalu, hilang sebagian dirimu."[1]

Diriwayatkan bahwa 'Umar bin Abdul 'Aziz rahimahullah berkata:


إِنَّ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَعْمَلَانِ فِيْكَ فَاعْمَلْ فِيْهِمَا

 

"Sesungguhnya malam dan siang bekerja terhadapmu, maka beramalah pada malam dan siang itu."[2]

2. Waktu Sangat Cepat Berlalu.
Seseorang berkata kepada 'Âmir bin Abdul Qais rahimahullah, salah seorang tabi'in, "Berbicaralah kepadaku!" Dia menjawab, "Tahanlah jalannya matahari!"

 

Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Aku tidak menyerupakan masa muda kecuali dengan sesuatu yang menempel di lengan bajuku, lalu jatuh."

Abul-Walid al-Bâji rahimahullah berkata, "Jika aku telah mengetahui dengan sangat yakin, bahwa seluruh hidupku di dunia ini seperti satu jam di akhirat, maka mengapa aku tidak bakhil dengan waktu hidupku (untuk melakukan perkara yang sia-sia, Pen.), dan hanya kujadikan hidupku di dalam kebaikan dan ketaatan."


3. Waktu Yang Berlalu Tidak Pernah Kembali.
Abu Bakar ash-Shiddîq radhiyallahu anhu berkata:


إِنَّ لِلَّهِ حَقًّا بِالنَّهَارِ لَا يَقْبَلُهُ بِاللَّيْلِ، وَلِلَّهِ حَقٌّ بِاللَّيْلِ لَا يَقْبَلُهُ بِالنَّهَارِ

 

"Sesungguhnya Allâh memiliki hak pada waktu siang, Dia tidak akan menerimanya di waktu malam. Dan Allâh juga memiliki hak pada waktu malam, Dia tidak akan menerimanya di waktu siang." (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, no. 37056)

Dengan demikian seharusnya seseorang bersegera melaksanakan tugasnya pada waktunya, dan tidak menumpuk tugas dan mengundurkannya sehingga akan memberatkan dirinya sendiri. Oleh karena itu waktu di sisi Salaf lebih mahal dari pada uang. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:


أَدْرَكْتُ أَقْوَامًا كَانَ أَحَدُهُمْ أَشَحَّ عَلَى عُمْرِهِ مِنْهُ عَلَى دَرَاهِمِهِ وَدَنَانِيْرِهِ

 

"Aku telah menemui orang-orang yang sangat bakhil terhadap umurnya daripada terhadap dirham dan dinarnya."[3]

Sebagian penyair berkata:


وَالْوَقْتُ أَنْفَسُ مَا عَنَيْتَ بِحِفْظِهِ ... وَأَرَاهُ أَسْهَلَ مَا عَلَيْكَ يُضَيَّعُ

 

"Waktu adalah perkara paling mahal yang perlu engkau perhatikan untuk dijaga, tetapi aku melihatnya paling mudah engkau menyia-nyiakannya.

4. Manusia tidak mengetahui kapan berakhirnya waktu yang diberikan untuknya.
Oleh karena itu Allâh Ta'ala banyak memerintahkan untuk bersegera dan berlomba dalam ketaatan. Demikian juga Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar bersegera melaksanakan amal-amal shalih. Para ulama telah memperingatkan agar seseorang tidak menunda-nunda amalan. Al-Hasan berkata:


اِبْنَ آدَمَ إِيَّاكَ وَالتَّسْوِيْفَ فَإِنَّكَ بِيَوْمِكَ وَلَسْتَ بِغَدٍّ فَإِنْ يَكُنْ غَدٌّ لَكَ فَكُنْ فِي غَدٍّ كَمَا كُنْتَ فِيْ الْيَوْمَ وَإِلَّا يَكُنْ لَكَ لَمْ تَنْدَمْ عَلَى مَا فَرَّطْتَ فِيْ الْيَوْمِ

 

"Wahai anak Adam, janganlah engkau menunda-nunda (amalan-amalan), karena engkau memiliki kesempatan pada hari ini, adapun besok pagi belum tentu engkau memilikinya. Jika engkau bertemu besok hari, maka lakukanlah pada esok hari itu sebagaimana engkau lakukan pada hari ini. Jika engkau tidak bertemu esok hari, engkau tidak akan menyesali sikapmu yang menyia-nyiakan hari ini."[4]

KENYATAAN MANUSIA DALAM MENYIKAPI WAKTU


Berikut adalah beberapa keadaan manusia dalam menyikapi waktu.


1. Orang-orang yang amalan shalih mereka lebih banyak daripada waktu mereka.

Diriwayatkan bahwa Syaikh Jamaluddin al-Qâshimi rahimahullah melewati warung kopi. Dia melihat orang-orang yang mengunjungi warung kopi tenggelam dalam permainan kartu dan dadu, meminum berbagai minuman, mereka menghabiskan waktu yang lama. Maka Syaikh berkata, "Seandainya waktu bisa dibeli, sungguh pasti aku beli waktu mereka!"


2. Orang-orang yang menghabiskan waktu mereka dalam mengejar perkara yang tidak berfaidah, baik berupa ilmu yang tidak bermanfaat, atau urusan-urusan dunia lainnya.

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah menyebutkan seorang laki-laki yang menghabiskan umurnya untuk mengumpulkan dan menumpuk harta. Ketika kematian mendatanginya, dikatakan kepadanya, "Katakanlah lâ ilâha illa Allâh," namun ia tidak mengucapkannya, bahkan ia mulai mengucapkan, "Satu kain harganya 5 dirham, satu kain harganya 10 dirham, ini kain bagus". Dia selalu dalam keadaan demikian sampai ruhnya keluar.

3. Orang-orang yang tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan terhadap waktu.

Seorang ulama zaman dahulu berkata:
Aku telah melihat kebanyakan orang menghabiskan waktu dengan cara yang aneh. Jika malam panjang, mereka habiskan untuk pembicaraan yang tidak bermanfaat, atau membaca buku percintaan dan begadang. Jika waktu siang panjang, mereka habiskan untuk tidur. Sedangkan pada waktu pagi dan sore, mereka di pinggir sungai Dajlah, atau di pasar-pasar. Aku ibaratkan mereka itu dengan orang-orang yang berbincang-bincang di atas kapal, kapal itu terus berjalan membawa mereka dan berita mereka. Aku telah melihat banyak orang yang tidak memahami arti kehidupan.

Di antara mereka, ada orang yang telah diberi kecukupan oleh Allâh Azza wa Jalla, ia tidak butuh bekerja karena hartanya yang sudah banyak, namun kebanyakan waktunya padai siang hari ia habiskan dengan nongkrong di pasar (kalau zaman sekarang di mall dan sebagainya, Pen.) melihat orang-orang (yang lewat). Alangkah banyaknya keburukan dan kemungkaran yang melewatinya.


Di antara mereka ada yang menyendiri bermain catur. Di antara mereka ada yang menghabiskan waktu dengan kisah-kisah kejadian tentang raja-raja, tentang harga yang melonjak dan turun, dan lainnya.


Maka aku mengetahui bahwa Allâh tidak memperlihatkan urgensi umur dan kadar waktu kesehatan kecuali kepada orang-orang yang Allâh berikan taufiq dan bimbingan untuk memanfaatkannya. Allâh berfirman:


وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ


"Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar." (QS. Fushilat/41:35)
 
Adapun yang menjadi penyebab perbedaan keadaan manusia dalam menyikapi waktu, kembali kepada tiga perkara berikut.


1. Sebab pertama, tidak menetapkan tujuan hidup. Oleh karena itu, seorang muslim wajib mengetahui bahwa tujuan Allâh menciptakannya adalah untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:


وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

 

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku." (QS. adz-Dzariyat/51:56)

Dia harus mengetahui bahwa dunia ini adalah tempat beramal, bukan tempat santai dan main-main, sebagaimana firman-Nya:


أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

 

"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?" (QS. al-Mukminun/23:115)
 
Dunia adalah sawah ladang akhirat. Jika engkau menanam kebaikan di dunia ini, maka engkau akan memetik kenikmatan abadi di akhirat nanti. Jika engkau menanam keburukan di dunia ini, maka engkau akan memetik siksaan pedih di akhirat nanti.

 
Namun demikian, ini bukan berarti manusia tidak boleh bersenang-senang dengan perkara yang Allâh ijinkan di dunia ini, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:


وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

 

"Demi Allâh, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa di antara kamu kepada Allâh, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat (malam) dan tidur, dan aku menikahi wanita-wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan dariku." (HR. al-Bukhari no. 4776; Muslim no. 1401)
 
2. Sebab kedua, bodoh terhadap nilai dan urgensi waktu.


3. Sebab ketiga, lemahnya kehendak dan tekad.


Banyak orang mengetahui nilai dan urgensi waktu, dan mengetahui perkara-perkara bermanfaat yang seharusnya dilakukan untuk mengisi waktu, tetapi karena lemahnya kehendak dan tekad, mereka tidak melakukannya. Maka seorang muslim wajib mengobati perkara ini dan bersegera serta berlomba melaksanakan amalan-amalan shalih, serta memohon pertolongan kepada Allâh Ta'ala, kemudian bergabung dengan kawan-kawan yang shalih.


Jika kita benar-benar mengerti tujuan hidup, dan kita benar-benar memahami nilai waktu, maka seharusnya kita isi waktu kita dengan perkara yang akan menjadikan ridha Penguasa kita, Allâh Subhanahu wa Ta'ala. Semoga Allâh selalu membimbing kita di atas jalan yang lurus. Âmîn. 



___________________
Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari
 
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVII/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]




___________________
[1] Riwayat Abu Nu'aim dalam Hilyatul-Auliya'. Perkataan ini juga diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu'abul- Iman, dari Abud Darda' radhiyallahu anhu. 

[2] Kitab Rabi'ul-Abrar, hlm. 305.
[3] Disebutkan dalam kitab Taqrib Zuhd Ibnul Mubarok, 1/28.
[4] Taqrib Zuhd Ibnul Mubarok, 1/28.




- sumber -
http://almanhaj.or.id/content/4099/slash/0/renungan-tentang-waktu/

Sabtu, 21 Maret 2015

Keutamaan Menaati Perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

بسم الله الرحمن الرحيم


 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ  أَنَّ رَسُولَ الله  قَالَ: « كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ، إِلاَّ مَنْ أَبَى »، قَالُوا: يَا رَسُولَ الله، وَمَنْ يَأْبَى ؟ قَالَ : « مَنْ أَطَاعَنِى دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ أَبَى » رواه البخاري.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Semua umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang enggan." Para Shahabat radhiyallahu 'anhum bertanya, "Siapakah yang enggan, wahai Rasulullah?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang menaatiku maka dia akan masuk Surga, dan barangsiapa yang durhaka kepadaku maka sungguh dialah yang enggan."[1]

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan tingginya kemuliaan orang yang selalu menaati perintah dan mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatan beliau. Bahkan ini merupakan sebab utama meraih kecintaan Allah  dan kedudukan mulia di sisi-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

{قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ}

"Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Ali 'Imran:31)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (petunjuk) Rasulullah Shallallahu 'alahi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya."[2]

Sebagaimana menyelisihi perintah dan petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sebab utama keburukan di dunia dan azab Neraka yang pedih di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

{فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ}

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah (petunjuk) Rasulullah takut akan ditimpa fitnah (keburukan dan kesesatan) atau ditimpa azab (Neraka) yang pedih." (QS. an-Nuur: 63)

Beberapa faidah penting yang dapat kita petik dari hadits di atas:
 
- Semangat mengikuti perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan ciri iman yang sempurna kepada Allah 'Azza wa Jalla dan hari akhir. Allah Ta'ala berfirman:

{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا}

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. al-Ahzaab:21)

Syaikh Abdurrahman as-Sa'di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata, "Teladan yang baik (pada diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Ta'ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah inilah yang memotivasi seseorang untuk meneladani (petunjuk) Rasulullah."[3]

– Arti "menaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam" adalah mengikuti petunjuk beliau, dengan mengerjakan segala perintah dan menjauhi semua larangan beliau, serta membenarkan semua yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan. Sedangkan arti "durhaka kepada beliau" adalah melanggar larangan atau tidak membenarkan berita yang beliau sampaikan.[4]

– Orang yang durhaka kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berarti dia mengikuti hawa nafsunya dan menyimpang dari jalan Allah Ta'ala yang lurus.[5]

– Orang yang enggan masuk Surga dan akan masuk Neraka adalah orang kafir yang tidak mau mengikuti agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau orang muslim yang berbuat maksiat, selain syirik, karena dia terancam masuk Neraka meskipun tidak kekal di dalamnya.[6]

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 23 Jumadal akhirah 1435 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni

___________________
[1] HSR. al-Bukhari (no. 6/2655, no. 6851).
[2] Tafsir Ibnu Katsir (1/477).
[3] Kitab "Taisiirul Kariimir Rahmaan" (hal. 481).
[4] Lihat kitab "Faidhul Qadiir" (5/12).
[5] Ibid.
[6] Ibid.



- sumber -
http://manisnyaiman.com/keutamaan-menaati-perintah-rasulullah/

Keutamaan Ahli al-Qur'an

بسم الله الرحمن الرحيم




عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ  قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : « إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ ». قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ ؟ قَالَ : « هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ؛ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ » حديث صحيح رواه أحمد وابن ماجه وغيرهما.

Dari Anas bin Malik  beliau berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya di antara manusia ada 'ahli' Allah". Para Shahabat radhiyallahu 'anhum bertanya, "Ya Rasulullah, siapakah mereka?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Mereka adalah ahli al-Qur'an, (merekalah) ahli (orang-orang yang dekat dan dicintai) Allah dan diistimewakan di sisi-Nya."[1]

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan orang yang menjadi ahli al-Qur'an yaitu orang yang tekun dan sungguh-sungguh mempelajari lafazh dan kandungan maknanya, kemudian mengajarkannya kepada manusia.[2]

Kemuliaan dan keutamaan ini disebutkan dalam hadits shahih lainnya, yaitu sabda Rasulullah : "Sebaik-baik orang di antara kalian (semua) adalah yang mempelajari al-Qur'an dan mengajarkannya (kepada orang lain)".

Beberapa mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:
  • Ahli al-Qur'an adalah orang-orang beriman yang menghafalnya dan membacanya dengan benar, serta memahami dan mengamalkan kandungannya[3], jadi bukan hanya sekedar membaca dan menghafal lafazhnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencela dan melaknat orang-orang Khawarij, padahal banyak di antara mereka yang menghafal dan banyak membaca al-Qur'an, tapi mereka tidak memahaminya dan tidak mengambil manfaat dari petunjuknya[4]. Beliau  bersabda, "Mereka (orang-orang Khawarij) pandai membaca (menghafal) al-Qur'an tapi tidak melampaui tenggorokan mereka"[5]. Inilah makna ucapan dari salah seorang ulama Salaf yang berkata, "Terkadang ada orang yang (pandai) membaca al-Qur'an, tapi al-Qur'an (justru) melaknatnya"[6]. 
  • Mereka disebut sebagai 'ahli Allah' artinya merekalah para wali (kekasih) Allah  yang sangat dekat dan istimewa di hadapan-Nya, sebagaimana seorang manusia dekat dengan 'ahli' (keluarga)nya. Gelar ini merupakan bentuk pemuliaan dan pengagungan terhadap mereka[7]. 
  • Orang beriman yang hatinya bersih dan dipenuhi cahaya iman tidak akan pernah bosan membaca dan mempelajari isi al-Qur'an. Shahabat yang mulia, 'Utsman bin 'Affan radhiyallahu 'anhu berkata, "Seandainya hati kita bersih maka kita tidak akan pernah bosan membaca/mempelajari al-Qur'an"[8]. 
  • Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Tilawah al-Qur'an meliputi tilwah (membaca) lafazhnya dan tilawah (memahami) makna (kandungan)nya. Tilawah makna al-Qur'an lebih mulia (utama) daripada sekedar tilawah lafazhnya. Dan orang-orang yang memahami kandungan al-Qur'an merekalah ahli al-Qur'an, yang terpuji di dunia dan akhirat, karena merekalah yang ahli sejati dalam membaca dan mengikuti (petunjuk) al-Qur'an"[9]. 
  • Al-Qur'an berisi petunjuk Allah yang agung, penyubur keimanan, obat penyakit hati, penyejuk jiwa dan sumber kebahagiaan serta kemuliaan hidup manusia di dunia dan akhirat, akan tetapi semua faidah dan kemualiaan tersebut kita dapatkan sesuai dengan penghayatan dan pengamalan kita terhadap kandungan maknanya[10].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 18 Rajab 1435 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni

___________________
[1] HR. Ahmad (3/127), Ibnu Majah (1/78) dan al-Hakim (1/743), dinyatakan hasan oleh Imam al-'Iraqi (Takhrij al-Ihya 1/222) dan as-Sakhawi (Kasyful Khafaa', hal. 292), dan dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani.
[2] Lihat judul bab dalam kitab "Sunan Ibnu Majah" (1/76).
[3] Lihat kitab "Faidhul Qadiir" (3/67).
[4] Lihat kitab "Syarhu Shahih Muslim" (7/159).
[5] HSR. al-Bukhari (3/1219) dan Muslim (no. 1064).
[6] Dinukil oleh Imam Abul Fadhl al-Alusy dalam tafsir beliau "Ruuhul Ma'aa-ni" (22/192).
[7] Lihat kitab "Faidhul Qadiir" (3/67).
[8] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab "Ighaatsatul Lahfaan" (1/55).
[9] Kitab "Miftaahu Daaris Sa'aadah" (1/42).
[10] Lihat kitab "Ighaatsatul Lahfaan" (1/44).



- sumber -
http://manisnyaiman.com/keutamaan-ahli-al-qur-an/

Kamis, 12 September 2013

Kewajiban Menuntut Ilmu Syar'i



Bismillah, Apa yang dimaksud ilmu dalam hadits ini ? Ilmu Dunia atau Ilmu Akhirat (Agama)? Mari kita sedikit mengkaji hadits ini. :)

Salah satu Hadits yang berhubungan dengan hadits diatas yaitu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Barangsiapa meniti satu jalan untuk mencari ilmu, niscaya –dengan hal itu- Allah jalankan dia di atas jalan di antara jalan-jalan surga. Dan sesungguhnya para malaikat membentangkan sayap-sayap mereka karena ridha terhadap thalibul ilmi (pencari ilmu agama). Dan sesungguhnya seorang alim itu dimintakan ampun oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi, dan oleh ikan-ikan di dalam air. Dan sesungguhnya keutamaan seorang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama daripada seluruh bintang-bintang. Dan sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah mengambil bagian yang banyak." (HR. Abu Dawud no. 3641 dan ini lafazh-nya; Tirmidzi no. 3641; Ibnu Majah no. 223; Ahmad, 4/196; Darimi no. 1/98. Dihasankan Syaikh Salim al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 2/470, hadits no. 1388)
Kita perhatikan hadits yang agung ini. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan keutamaan menuntut ilmu pada awal kalimat, dan keutamaan alim (orang yang berilmu) pada pertengahan kalimat, lalu pada akhir kalimat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan, bahwa ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu yang diwariskan para Nabi, yaitu ilmu agama yang haq!

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Telah diketahui bahwa ilmu yang diwariskan oleh para Nabi adalah ilmu syariat Allah ‘Azza wa Jalla, bukan lainnya. Sehingga, para Nabi tidaklah mewariskan ilmu teknologi dan yang berkaitan dengannya kepada manusia.” (Kitabul Ilmi, hal. 11, karya Syaikh al-Utsaimin).

Ini bukan berarti bahwa ilmu dunia itu terlarang atau tidak berfaidah. Bahkan, ilmu dunia yang dibutuhkan oleh umat juga perlu dipelajari dengan niat yang baik.

Beliau juga berkata, “Yang kami maksudkan adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, yang berupa penjelasan-penjelasan dan petunjuk. Maka, ilmu yang mendapatkan pujian dan sanjungan hanyalah ilmu wahyu, ilmu yang diturunkan oleh Allah.” (Kitabul Ilmi, hal. 11, karya Syaikh al-Utsaimin).

Melihat penjelasan tadi, kita dapat menarik kesimpulan bahwa yang wajib itu ilmu Agama, dan bukan ilmu duniawi yang tidak akan dibawa ke akhirat kelak. Oleh karena itu sebagai muslim yang bertakwa kita harus menggugurkan salah satu kewajiban kita ini, caranya dengan mendatangi majelis majelis i'lmu yang berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah dan pemahaman para salafusshalih.

Semoga artikel ini bermanfaat, dan memotivasi kita untuk bersemangat mendatangi majelis - majelis ilmu. Allahua'lam

sumber : http://pengusahamuslim.com/



 

Sabtu, 31 Agustus 2013

Mp3 Kajian








Dari Kitab "Tahdzib Tashil Al'Aqidah  Al-Islamiyyah"  
Karya Syaikh DR. Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin

 1 : -

 2 : -





Dari Kitab “Bulughul Maram min Adilatil Ahkam"
Karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani


 1 : Kajian Tanggal 30 Mei 2013 (Hadits 2-3)
 2 : Kajian Tanggal 27 Agustus 2013 (Hadits 4-7)
 3 : Kajian Tanggal 10 September 2013 (Hadits 8)

Jumat, 24 Mei 2013

Bersemangatlah Menuntut Ilmu Agama




Menuntut ilmu agama termasuk amal yang paling mulia, dan ia merupakan tanda dari kebaikan. Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wasallam bersabda, “Orang yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan, akan dimudahkan untuk memahami ilmu agama” (HR. Bukhari-Muslim). Hal ini dikarenakan dengan menuntut ilmu agama seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat baginya untuk melakukan amal shalih.


Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Dan Allahlah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan hudaa dan dinul haq” [at-Taubah: 33]. Dan 'hudaa' di sini adalah ilmu yang bermanfaat, dan maksud 'dinul haq' di sini adalah amal shalih. Selain itu, Allah Ta’ala pernah memerintahkan Nabi-Nya Shalallahu’alaihi Wasallam untuk meminta tambahan ilmu, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah (Wahai Muhammad), Ya Rabb, tambahkanlah ilmuku” [Thaha: 114]. al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Ayat ini adalah dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu. Karena Allah Ta’ala tidak pernah memerintahkan Nabinya Shalallahu’alaihi Wasallam untuk meminta tambahan terhadap sesuatu, kecuali ilmu” [Fathul Baari, 187/1]. Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam memberi nama majlis ilmu agama dengan ‘Riyadhul Jannah’ (Taman Surga). Beliau juga memberi julukan kepada para ulama sebagai ‘Warotsatul Anbiyaa’ (Pewaris Para Nabi).


Dari sisi keilmuan dan pengamalan terhadap ilmu, manusia terbagi menjadi 3 jenis:

- Jenis yang pertama yaitu orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Mereka ini adalah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah untuk menempuh shiratal mustaqim, yaitu jalan yang lurus yang telah ditempuh oleh para nabi, orang-orang jujur, pada syuhada, dan orang-orang shalih. Dan merekalah teman yang terbaik.

- Jenis yang kedua yaitu orang yang berilmu namun tidak mengamalkannya. Mereka ini adalah orang-orang yang dimurkai oleh Allah, semisal orang-orang Yahudi dan pengikut mereka.

- Jenis yang ketiga yaitu orang yang beramal tanpa ilmu. Mereka ini adalah orang-orang yang sesat, semisal orang-orang Nashrani dan para pengikut mereka.


Ketiga jenis manusia ini tercakup dalam surat al-Fatihah yang senantiasa kita baca setiap rakat dalam shalat kita,yang artinya: ”Ya Rabb, tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan yang telah ditempuh oleh orang-orang yang Engkau beri ni’mat, bukan jalannya orang yang Engkau murkai dan bukan jalannya orang-orang yang sesat” [al-Fatihah: 6 - 7].


Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Firman Allah Ta’ala (yang artinya) ‘bukan jalannya orang yang Engkau murkai dan bukan jalannya orang-orang yang sesat’, yang dimaksud orang yang dimurkai di sini adalah para ulama yang tidak mengamalkan ilmu mereka. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang beramal tanpa ilmu. Apapun yang pertama, adalah sifat Yahudi. Dan yang kedua adalah sifat Nashrani. Namun kebanyakan orang jika melihat tafsir ayat ini mereka mengira bahwa sifat ini khusus bagi Yahudi dan Nashrani saja, padahal ia membaca bahwa Rabb-nya memerintahkan untuk membaca doa tersebut dan berlindung dari jalannya orang-orang yang bersifat demikian. Subhanallah! Bagaimana mungkin Allah mengabarkan sesuatu dan memilah sesuatu serta memerintahkan untuk selalu berdoa jika tidak ada maksud untuk memberi peringatan atau memberi gambaran keburukan mereka untuk dijauhi. Hal ini termasuk perbuatan berprasangka buruk terhadap Allah. (Karena mengira bahwa firman Allah tersebut tidak ada faedahnya -pent.)”. (Lihat Tarikh Najdi, Ibnu Ghonam)


Dan beliau juga menjelaskan tentang hikmah diwajibkannya membaca surat al-Fatihah dalam tiap rakaat shalat kita, baik shalat wajib maupun shalat sunnah, yaitu sebuah rahasia yang agung. Secara ringkas rahasia dari doa tersebut adalah harapan agar Allah Ta’ala memberikan kita petunjuk kepada jalannya orang-orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, yang merupakan jalan keselamatan di dunia dan di akhirat. Juga harapan agar Allah Ta’ala menjaga kita dari jalannya orang-orang yang binasa, yaitu orang-orang yang berlebihan dalam amal shalih saja atau berlebihan dalam ilmu saja.


Kemudian, ketahuilah wahai pembaca yang budiman, ilmu yang bermanfaat itu di ambil dari al-Qur'an dan hadits, dengan bantuan para pengajar, juga dengan bantuan kitab-kitab tafsir al-Qur’an dan kitab syarah (penjelasan) hadits, kitab fiqih, kitab nahwu, dan kitab bahasa arab yang merupakan bahasa al-Qur’an. Semua kitab ini adalah gerbang untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah.


Wahai saudaraku, agar amalmu termasuk amal shalih, wajib bagimu untuk mempelajari hal-hal pokok yang menegakkan agamamu. Seperti mempelajari tentang shalat, puasa, haji, zakat, juga mempelajari perkara muamalah yang engkau butuhkan. Agar engkau dapat mengambil yang boleh saja dan tidak terjerumus pada hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Agar penghasilanmu halal, makananmu halal sehingga doamu dapat dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Semua ini adalah hal-hal yang mempelajarinya adalah kebutuhan bagimu. Semua ini akan mudah dijalani, dengan izin Allah, bila benar tekadmu dan bersih niatmu.


Maka bersemangatlah membaca kitab-kitab yang bermanfaat, dan berkonsultasilah dengan para ulama. Tanyakanlah kepada mereka tentang hal-hal yang membuatmu bingung, dan temukan jawaban tentang hukum-hukum agamamu. Hal ini bisa dilakukan dengan menghadiri pengajian-pengajian yang diadakan di masjid atau di tempat lain, atau mendengarkan program-program Islami dari siaran radio, atau membaca majalah atau buletin yang membahas permasalahan agama, jika engkau bersemangat terhadap semua media-media yang bermanfaat ini, tentu bersinarlah cahaya ilmu bagimu dan teranglah penglihatanmu.


Dan jangan lupa saudaraku, ilmu itu akan disucikan dengan amal. Jika engkau mengamalkan apa yang telah engkau ilmui, maka Allah Ta’ala akan menambahkan ilmu bagimu. Sebagaimana peribahasa orang arab “Orang yang mengamalkan apa yang telah ia ilmui, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang belum ia ilmui”. Peribahasa ini dibenarkan oleh firman Allah Ta’ala yang artinya: “Bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan membuatmu berilmu. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [al-Baqarah: 272]


Ilmu adalah kesibukan yang paling layak untuk mengisi waktu, ia juga merupakan hadiah yang paling layak untuk diperlombakan bagi orang-orang yang berakal. Ilmu akan menghidupkan hati dan mensucikan amal.


Allah Ta’ala telah memuji para ulama yang mengamalkan ilmunya, dan mengangkat derajat mereka dalam al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu? Sesungguhnya hanya orang yang berakal saja yang dapat menerima pelajaran” [az-Zumar: 9]. Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya, “Allah telah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu dari kalian beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [al-Mujaadalah: 11]. Allah Ta’ala telah menjelaskan keistimewaan orang-orang berilmu yang digandengkan dengan iman. Kemudian setelah itu Allah mengabarkan Ia Maha Mengetahui atas apa yang kita kerjakan. Maka di sini terdapat tanda yang menunjukkan bahwa ilmu harus digandengkan dengan amal, dan juga harus bersandar pada iman dan muqorobah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.


____________
[Diterjemahkan dari muqoddimah kitab “al-Mulakhos al-Fiqhiy”, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan]



Penerjemah: Yulian Purnama

Empat Hal yang Penting untuk Dilakukan



Empat hal yang dapat mendatangkan rezeki,

1. Qiyamul lail.
2. Memperbanyak istighfar pada akhir malam.
3. Memperbanyak sedekah.
4. Zikir di pagi dan sore hari.

Empat hal yang menambah keceriaan wajah,

1. Berkelakuan baik.
2. Menepati janji.
3. Bersifat mulia.
4. Bertakwa.

Empat hal menguatkan pandangan,

1. Duduk di depan ka’bah.
2. Bercelak ketika hendak tidur.
3. Memandang hijau-hijauan.
4. Membersihkan tempat beraktivitas.

Empat hal yang menambah kecerdasan akal,

1. Meninggalkan perkataan-perkataan yang tidak berguna.
2. Bersiwak, bergaul, dengan orang-orang shalih.
3. Berguru kepada para ulama’.
4. Istiqomah dalam menuntut ilmu.

Empat hal yang merusakkan tubuh,

1. Gelisah.
2. Sedih.
3. Lapar.
4. Begadang.

Empat hal yang mencegah rezeki,

1. Tidur sesudah shubuh.
2. Jarang berbuat baik.
3. Malas.
4. Khianat.

Empat hal yang dapat membuat tubuh sakit,

1. Terlalu banyak berbicara.
2. Terlalu banyak tidur.
3. Terlalu banyak makan.
4. Terlalu banyak berhubungan badan

_____________________________
Dikutip dari Kitab at Tibbun Nabawi
Karya Ibnul Qayyim